BIOGRAFI SINGKAT
PARA PERAWI HADITS
Makalah
Disajikan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Ulumul Qur’an / Ulumul Hadits
Dosen
Prof. DR. H.
Fathurrahman Rauf
Oleh
Erlangga bin Irawan
bin Uwo bin Salim
NPM: 41189901130055
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN PENDIDIKAN
TAHUN AKADEMIK GENAP 2013/2014
UNIVERSITAS ISLAM
“45” BEKASI
BEKASI 1435 H / 2014 M
KATA
PENGANTAR
Pujian hanyalah milik
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, hanya kepadaNya kita beribadah dan hanya kepadaNya
kita memohon pertolongan. Ya Alloh tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus,
mudah-mudah kita semua selalu berada pada jalan yang diridhoiNya. Amin.
Makalah
ini di buat berdasarkan tugas mata kuliah Ulumul
Qur’an / Ulumul
Hadits. Berisi tentang biografi para perawi hadits. Semoga dengan adanya makalah ini dapat
membantu teman-teman dalam mencari informasi tentang para perawi hadits, meskipun tidak semua biografi para perowi hadits
saya paparkan pada makalah ini dikarenakan kesempatan yang terbatas, sehingga
hanya beberapa perowi ternama saja yang saya paparkan pada makalah ini, yaitu
ulama penulis kutubus.sittah dan beberapa ulama ternama lainnya.
Dalam kesempatan ini juga
saya ucapkan terima kasih kepada Prof.
DR. H. Fathurrahman Rauf, yang telah
membimbing, serta Ade Irwan Effendi, Lana Andriana dan Yoke Herlyana Mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2001 yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Demikian makalah ini saya
buat, kritik saran guna perbaikan makalah ini sangat saya harapkan. Wassalamu’alaikum
warohmatullohi wabarokatuh.
Bekasi, 23 Mei 2014
BIOGRAFI
SINGKAT PARA PEROWI HADITS
1.
IMAM MALIK BIN ANAS (94 – 179
H)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr bin Harits bin Gaiman
bin Kutail bin ‘Amr bin Harits Al-Ashbahi. Terkenal juga dengan sebutan Imam
Dar Al-Hijrah.[1] Ia
lahir pada tahun 94 H/712 M di kota Madinah daerah Hijaz. Dari riwayat ini, ia
adalah keturunan Arab dari dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Hamyar.
Semenjak kanak-kanak, ia terdidik dalam suasana
lingkungan yang kondusif dan mendukung. Hidup di tengah-tengah sahabat yang
cerdik dan para hukum agama, sebagai anak yang cerdas cepat menerima pelajaran
yang kuat dalam berpikir dan memiliki daya kritis yang tinggi.
Pada
saat tumbuh dewasa, ia mengayuhkan langkahnya ke kota Madinah, guna menimba
ilmu pengetahuan. Tampaknya
ia yakin bahwa sudah cukup baginya kota Madinah sebagai pusat menimba ilmu.
Oleh karena itulah, ajaran Islam lahir yang kemudian diikuti oleh para
sahabatnya dan tabiin. Banyak juga para pendatang yang menetap disana dan
berbagai kepentingan, termasuk mendalami ilmu pengetahuan Islam.
Kesungguhannya dalam menekuni agama Islam telah
menjadikan Imam Malik sebagai seorang panutan di bidang fiqh dan hadits.
Bahkan, dalam bidang fiqh, ia dikenal sebagai pendiri salah satu mazhab fiqh,
yaitu Mazhab Maliki.
Sebagai
sosok ulama besar yang memiliki pengaruh sangat luas, Imam Maliki memiliki budi
pekerti yang luhur, sopan santun, lemah lembut, mengasihi fakir miskin, dan
gemar memberikan bantuan kepada orang lain.
Mengenal sikap pribadi dan kepandaian Imam Malik,
beberapa tokoh terutama oleh An-Nasa’i mengatakan bahwa, “Pada
sisiku tidak ada orang yang lebih pandai dari Malik. Dia orang yang mulia yang
dapat dipercaya serta paling jujur.” Bahkan, Imam Syafi’i mengatakan bahwa
malik adalah hujjatullah atas makhluk-Nya sesudah
tabiin.
Setelah 60 tahun mencurahkan tenaga, harta benda, dan
pikirannya khalayak ramai tentang ilmu Islam, pada hari Ahad tanggal 10 Rabiul
Awwal 179 H/798 M, Imam Malik kembali ke rahmatullah dengan
tenang, dalam usia 87 tahun.
Kitab Al-Muwaththa’ merupakan
karya monumental Imam Malik dalam bidang hadits. Tampaknya, Imam Malik
mengumpulkan banyak sekali bahan dan memilih beberapa ribu hadits yang
dituangkan dalam kitabnya tersebut. Ia selalu merivisi karya ini dan akibatnya
mengurangi jumlah isinya. Karena itu, kitab ini memliki lebih dari 80 versi.
Lima belas diantaranya lebih terkenal, dan kini hanya tinggal versi Yahya yang
bisa diperoleh dalam bentuk orisinal, lengkap, dan tercetak. Versi ini berisi
hadits Nabi, atsarsahabat, dan atsar ulama
kemudian. Jumlah total hadits yang terdapat dalam kitab Al-Muwaththa’ adalah
1.726, yang terdiri dari 600 hadits marfu’, 613 hadits mauquf,
285 hadits maqtu, dan 28 hadits mursal.
Selain Al-Muwaththa’,
Imam Malik juga banyak menghasilkan karya-karya lainnya, diantaranya Risalah
ila Ibn Wahb fi Al-Qadr, Kitab An-Nujum, Risalah fi Al-Aqdhiyah, Tafsir Gharib
Al-Quran, Risalah ila Al-Laits bin Sa’d, Risalah ila Abu Ghassan, Kitab
Al-Siyar, Kitab Al-Manasik.
Nasib kebanyakan kitab ini tidak diketahui. Namun,
Imam Malik termashyur karena mazhab pemikirannya, kepribadiannya, keulamaan,
dan kitab Al-Muwaththa’-nya.[2]
2.
AHMAD BIN MUHAMMAD BIN HANBAL
(164 – 241 H)
Imam
Ahmad, (nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hilal bin
Asad Asy-Syaibani Al-Marwazi, dikenal juga sebagai Imam Hambali) lahir di Marw
(saat ini bernama Mary di Turkmenistan, utara Afghanistan dan utara Iran) pada
tanggal 20 Rabiul Awwal 164 H/781 M dan wafat pada tahun 241 H di kota Baghdad,
Irak.
Ia
telah mempelajari hadits sejak kecil dan untuk mempelajari hadits ini, ia
pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria), Hijaz, Yaman, dan negara-negara
lainnya sehingga ia menjadi tokoh ulama yang bertakwa, saleh, dan zuhud. Abu Zur’ah mengatakan bahwa
kitab Ahmad bin Hanbal yang sebanyak 12 buah sudah hafal di luar kepala. Ia
menghafal sampai sejuta hadits. Imam Syafi’I mengatakan tentang diri Imam Ahmad
sebagai berikut, “Setelah saya keluar dari Baghdad, tidak ada orang yang
saya tinggalkan disana yang lebih terpuji, lebih saleh, dan lebih berilmu
daripada Ahmad bin Hanbal.”[3]
Imam Ahmad bin Hanbal telah menyusun sebuah Musnad,
yang di dalamnya terdapat hadits-hadits yang tidak ditemukan oleh orang lain.
Musnad Ahmad bin Hanbal ini terdiri dari 6 jilid yang memuat tidak kurang dari
30.000-40.000 hadits yang telah ia seleksi dari dari 75.000
hadits.[4]
Selain Al-Musnad,
Imam Ahmad juga menulis banyak kitab, di antaranyaAt-Tafsir, An-Nasikh wa
Al-Mansukh, At-Tarikh, Hadits Syu’bah, Al-Muqaddam wa Al-Mu’akkhar fi
Al-Qur’an, Jawabah Al-Qur’an, Al-Manasik Al-Kabir, Al-Manasik Ash-Shaghir,
Al-‘Ilal, Al-Manasik, Az-Zuhd, Al-Iman, Al-Masa’il, Al-Asyribah, Al-Fadha’il,
Tha’ah Ar-Rasul, Al-Fara’idh, Ar-Radd ala Al-Jahmiyyah.[5]
3.
IMAM BUKHARI (194 – 256 H)
Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah
Al-Ja’fi bin Bardizbah Al-Bukhari. Ia dilahirkan bulan Syawal 194 H di negeri Bukhara,
Uzbekistan, Asia Tengah sehinggan lebih dikenal dengan nama Al-Bukhari. Ia
sangat alim di bidang hadits dan telah menyusun sebuah kitab yang kesahihannya
disepakati oleh umat Islam dari zaman dahulu hingga sekarang.
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat
beragama. Dalam kitabAts-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayah
Al-Bukhari dikenal sebagai orang yang wara’, dalam arti berhati-hati terhadap
hal-hal yang bersifatsyubhat (ragu-ragu) hukumnya, terlebih hal
yang haram. Ia seorang ulama bermazhab Maliki dan murid Imam Malik, seorang
ulama besar dan ahli fiqh. Ia wafat ketika Bukhari masih kecil.
Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli
hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun, bersama keluarganya, ia
mengunjungi kota suci, terutama Mekah dan Madinah, untuk mengikuti kuliah dari
para guru besar hadits. Pada usia 18 tahun, ia menerbitkan kitab pertama Qadhaya
Shahabah wa Tabi’in, hafal kitab-kitab hadits karya Mubarak dan Waki bin
Jarrah bin Malik. Bersama gurunya, Syekh ishaq, ia menghimpun hadits-hadits
sahih dalam satu kitab, dan dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80.000 rawi
disaring menjadi 7.275 hadits.
Bukhari memiliki daya hafal tinggi sebagaimana yang
diakui kakaknya, Rasyid bin Ismail. Sosok Bukhari kurus, tidak tinggi, tidak
pendek, kulit agak kecokelatan, ramah, dermawan, dan banyak menyumbangkan
hartanya untuk pendidikan.
Untuk
mengumpulkan dan menyeleksi hadits sahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16
tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para rawi hadits,
mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Di antara kota-kota yang
disinggahinya, antara lain Bashrah , Mesir, Hijaz (Mekah, Madinah), Kufah,
Baghdad sampai Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi
dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota itu, ia bertemu
dengan 80.000 rawi. Dari merekalah, Bukhari mengumpulkan dan menghafal satu
juta hadits.
Namun,
tidak semua hadits yang dia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih
dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya
apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah rawi
(periwayat/pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqah (kuat).
Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, Bukhari menulis sebanyak 9.082 hadits dalam
karya monumentalnya, Al-Jami’ Ash-Shahih yang dikenal
sebagai Shahih Bukhari.
Di antara
guru-gurunya dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits, antara lain Ali bin
Al-Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al-Faryabi,
Makki bin Ibrahim Al-Bakhi, dan Muhammad bin Yusuf Al-Baykandi. Selain itu, ada 289 ahli
hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab shahih-nya. Banyak pula
ahli hadits yang berguru kepadanya, seperti Syeikh Abu Zahrah, Abu Hatim
Tirmizi, Muhammad Ibn Nasr, dan Imam Muslim.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi
dengan para rawi, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan
kepada para rawi juga cukup halus, namun tajam. Kepada rawi yang sudah jelas
kebohongannya, ia berkata, “Perlu dipertimbangkan, para ulama
meninggalkannya atau para ulama berdiam diri dari hal itu.” Sementara kepada
para rawi yang haditsnya tidak jelas, ia menyatakan, “Haditsnya diingkari.”
Bahkan, banyak meninggalkan rawi yang diragukan kejujurannya. Dia berkata, “Saya
meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang perlu
dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau
lebih, yang diriwayatkan rawi, yang dalam pandangan saya perlu dipertimbangkan.”
Banyak
ulama atau rawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan
sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang
lengkap mengenai sebuah hadits, ia berkali-kali mendatangi ulama atau rawi
meskipun berada di kota atau negeri yang jauh, seperti Baghdad, Kufah, Mesir,
Syam, Hijaz, seperti yang dikatakannya, “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir,
dan Jazirah masing-masing dua kali; ke Bashrah empat kali, menetap di Hijaz
selama enam tahun, dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah
dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama hadits.”
Di
sela-sela kesibukannya sebagai ulama dan pakar hadits, ia juga dikenal sebagai
ulama dan ahli fiqh, bahkan tidak lupa dengan kegiatan-kegiatan olahraga dan
rekreatif, seperti belajar memanah sampai mahir. Menurut suatu riwayat, Imam
Bukhari tidak pernah luput memanah, kecuali dua kali.
Kebesaran akan keilmuan Imam Bukhari diakui dan
dikagumi sampai seantero dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal Imam Muslim,
seorang ahli hadits yang juga murid Imam Bukhari dan menerbitkan kitab Shahih
Muslim, kedatangan Imam Bukhari pada tahun 250 H disambut meriah. Ia
juga disambut oleh guru-gurunya, Muhammad bin Yahya Az-Zihli. Dalam kitabShahih
Muslim, Imam Muslim menulis, “Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur,
saya tidak melihat kepala daerah, para ulama, dan warga kota memberikan
sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan kepada Imam Bukhari.”
Namun, kemudian terjadi fitnah yang menyebabkan Imam Bukahri meninggalkan kota
itu dan pergi ke kampung halamannya di Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur, di Bukhara, Imam Bukhari
disambut secara meriah. Namun, ternyata fitnah kembali melanda, kali ini datang
dari Gubernur Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli yang akhirnya Gubernur
ini menerima hukuman dari Sultan Uzbekistan Ibn Tahir.
Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand,
sebuah negeri tetangga Uzbekistan, Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand.
Tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia singgah untuk
mengunjungi beberapa familinya. Namun, disana, ia jatuh sakit selama beberapa
hari. Dan akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam
Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia dimakamkan selepas shalat
Dzuhur pada hari raya Idul Fitri.[6]
Imam Bukhari banyak menghasilkan karya-karya, sebagian
telah musnah dan sebagian lagi masih ada di tengah-tengah kita. Karya-karya
Imam Bukhari di antaranya: Al-Jami’ Ash-Shahih yang dikenal
sebagai Shahih Bukhari, Al-Adab Al-Mufrad, Adh-Dhu’afa Ash-Shaghir,
At-Tarikh Ash-Shaghir, At-Tarikh Al-Ausath, At-Tarikh Al-Kabir, At-Tafsir
Al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Mazaya Shahabah wa Tabi’in, Kitab Al-Ilal, Raf’ul
Yadain fi Ash-Shalah, Birr Al-Walidain, Kitab Ad-Du’afa, Asami Ash-Shahabah,
Al-Hibah, Khalq Af’al Al-Ibad.
Di
antara karya Imam Bukhari tersebut, yang paling terkenal adalah Al-Jami’
Ash-Shahih, yang judul lengkapnya adalah Al-Jami’ Al-Musnad
Ash-Shahih Al-Mukhtasar min Umur Rasul Allah wa Sunanih wa Ayyamih. Jumlah hadits dalam kitab ini
adalah 9.082 buah. Bila tanpa yang diulang, jumlahnya 2.602 buah. Jumlah ini tak termasuk hadits mauquf dan
ucapan para tabiin.[7]
4.
IMAM MUSLIM (202 – 261 H)
Nama lengkapnya adalah Al-Imam Abu Husain Muslim bin
Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi. Ia lahir pada tahun 202 H dan meninggal
dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 H dan dikuburkan di Naisaburi.
Ia juga sudah belajar hadits sejak kecil seperti Imam
Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain
mereka. Orang yang menerima hadits dari Imam Muslim, termasuk tokoh-tokoh ulama
pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan
bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab sahihnya yang dikenal
dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis
dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadits sahih ini, Shahih
Muslim dan Shahih Bukhari, biasa disebut dengan Ash-Shahihain.
Kedua tokoh hadits ini biasa disebut Asy-Syakhani atau Asy-Syakhaini,
yang berarti dua orang tua, yang maksudnya dua tokoh ulama ahli hadits. Imam
Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddinterdapat istilah akhraja
hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya.
Ia belajar hadits sejak usia 16 tahun,yaitu mulai
tahun 218 H. ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan negara-negara lainnya.
Di
Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray, ia
berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan; di Irak, ia berguru kepada
Imam Ahmad dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz, ia belajar kepada Sa’id bin
Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir, ia berguru kepada ‘Amr bin Sawad, Harmalah
bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits lainnya.[8]
Ia
berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits,
dan kunjungannya yang terakhir pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke
Naisabur, ia sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa
dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan
Az-Zihli, ia bergabung dengan Bukhari sehingga hal ini menjadi sebab
terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Shahih-nya
maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari
Az-Zihli padahal Az-Zihli adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap
Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalamShahih-nya, yang diterima
dari Bukhari, padahal Bukhari pun gurunya. Tampaknya menurut Muslim, yang lebih
baik adalah tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu
ke dalam Shahih-nya, namun tetap mengakui mereka sebagai guru.
Imam Muslim wafat pada Minggu Sore dan dikebumikan di
kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25
Rajab 261 H/5 Mei 875 M dalam usia 55 tahun.
Imam
Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di
antaranya: Al-Jami’ Ash-Shahih (Shahih Muslim), Al-Musnad
Al-Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para rawi hadits), Al-Asma
wal-Kuna, Al-Ilal, Al-Aqran, Su’alat Ahmad bin Hanbal, Al-Intifa’ bi
Uhubis-Siba’, Al-Muhadramin, Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid,
Auladish-Shahabah, Auham Al-Muhadditsin.
Di antara karya-karya tersebut, yang termasyhur
adalah Ash-Shahih, yang judul lengkapnya adalah Al-Musnad
Ash-Shahih Al-Mukhtasar min As-Sunan bi Naql Al-‘Adl ‘an Rasul Allah.
Menurut perhitungan M. Fuad ‘Abd Al-Baqi, kitab ini berisi 3.033 hadits.[9]
5.
IMAM AN-NASA’I (215 – 303 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdurahman Ahmad ibn
Syu’aib bin ‘Ali ibn Abi Bakar ibn Sinan An-Nasa’i.[10] Ia
terkenal dengan nama An-Nasa’i karena dinisbatkan dengan kota Nasa’i, salah
satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun 215 H demikian menurut
Adz-Dzahabi, dan meninggal dunia pada hari Senin tanggal 13 Shafar 303 H di
Palestina, kemudian dikuburkan di Baitul Maqdis.
Imam
An-Nasa’i menerima hadits dari Sa’id, Ishaq bin Rwahih, dan ulama-ulama lainnya
dari kalangan tokoh ulama ahli hadits di Khurasan, Hijaz, Irak, Mesir, Syam,
dan Jazirah Arab. Imam
An-Nasa’i termasuk diantara ulama yang ahli dibidang ini dan
karena ketinggian sanad haditsnya. Menurut para ulama ahli hadits, Imam
An-Nasa’i lebih kuat hafalannya dibandingkan Imam Muslim dan
kitab Sunan An-Nasa’i lebih sedikit haditsdhaif-nya (lemah)
setelah hadits Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Imam An-Nasa’i pernah menetap di Mesir.
Para gurunya yang namanya harum tercatat oleh pena
sejarah, antara lain Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih,
Al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Daud (penyusun Sunan
Abi Daud), dan Imam Abu Isa At-Tirmidzi (penyusun Al-Jami’ atau Sunan
At-Tirmidzi).
Sementara murid-murid yang setia mendengarkan
fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah Imam An-Nasa’i, antara lain Abu Al-Qasim
At-Thabrani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far
At-Thahawi, Al-Hasan bin Al-Khadir As-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin
Al-Ahmar An-Andalusi, Abu Nashr Al-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad As-Sunni.
Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai
‘penyambung lidah’ Imam An-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan
An-Nasa’i.
Sudah mafhum dikalangan peminat
kajian hadits dan ilmu hadits, para Imam hadits merupakan sosok yang
memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunan
inilah, para imam hadits kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga
nilainya.
Karangan-karangan Imam An-Nasa’i yang sampai kepada
kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain As-Sunan
Al-Kubra, As-Sunan Al-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan
dari kitab As-Sunan Al-Kubra), Al-Khashais, Fadhail
Ash-Shahabah, dan Al-Manasik. Menurut sebuah keterangan
yang diberikan oleh Imam Ibn Al-Atsir Al-Jazairi dalam kitabnya Jami Al-Ushul, kitab ini disusun
berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.
Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan
An-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan As-Sunan Al-Kubra. Setelah
tuntas menulis kitab ini, ia kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir
Ramlah (walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya
kepada An-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadits sahih?” Ia
menjawab dengan kejujuran, “Ada yang sahih, hasan, dan ada pula yang serupa
denagnnya.”
Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya,
pisahkanlah hadits yang sahih-sahih saja.” Atas permintaan Amir ini, An-Nasa’i
kemudian menyeleksi dengan ketat semua haditsyang telah tertuang dalam
kitab As-Sunan Al-Kubra. Akhirnya, ia berhasil melakukan prampingan
terhadap As-Sunan Al-Kubra sehingga menjadi As-Sunan
Al-Sughra. Dari segi penerimaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang
kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab pertama.
Imam An-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi
hadits-hadits yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karena itu, banyak ulama
berkomentar, “Kedudukan kitab As-Sunan Al-Sughra di bawah derajat Shahih
Al-Bukhari danShahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit
sekali hadits dhaif yang terdapat di dalamnya.” Karena hadits-hadits yang
termuat dalam kitab kedua (As-Sunan Al-Sughra) merupakan hadits-hadits
pilihan yang telah diseleksi dengan ketat, kitab ini juga dinamakan Al-Mujtaba.
Pengertian Al-Mujtababersinonim dengan Al-Maukhtar (yang
terpilih) karena memang kitab ini berisi hadits-hadits pilihan hasil seleksi
dari kitab As-Sunan Al-Kubra.
Di samping Al-Mujtaba, dalam salah satu
riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan Al-Mujtana. Pada masanya,
kitab ini terkenal dengan Al-Mujtaba, sehingga nama As-Sunan
Al-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama Al-Mujtaba.
Dari Al-Mujtaba inilah, kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan
An-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Tampaknya untuk selanjutnya,
kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.
Kita
perlu menilai jawaban Imam An-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara
kritis ketika ia mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadits-hadits yang tertuang
dalam kitabnya tidak semuanya sahih, tetapi ada pula yang hasan dan ada pula
yang menyerupainya. Ia
tidak mengatakan bahwa di dalamnya terdapat hadits dhaif (lemah)
atau maudhu’ (palsu). Ini artinya ia tidak pernah memasukkan
sebuah hadits pun yang dinilai sebagai haditsdhaif atau maudhu’,
minimal menurut pandangannya.
Setelah
hadits-hadits yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai
permintaan Amir Ramlah supaya Imam An-Nasa’i hanya menuliskan hadits yang
berkualitas sahih semata, bisa diambil kesimpulan, apabila hadits hasan saja
tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadits yang berkualitas dhaif atau maudhu’ tentu
lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadits-hadits sahih.
Namun
demikian, Ibn Al-Jauzy, pengarang kitab Al-maudhuat (hadits-hadits
palsu), mengatakan bahwa hadits-hadits yang ada di dalam kitab As-Sunan
Al-Sughra tidak semuanya berkualitas sahih, namun ada yangmaudhu’.
Ibn
Al-Jauzy menemukan sepuluh hadits maudhu’ di dalamnya sehingga
memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas As-Sunan Al-Sughra.
Seperti yang telah disinggung di muka, hadits itu semua sahih menurut Imam
An-Nasa’i. Adapun penilaian orang belakangan bahwa di antara hadits tersebut
ada yang maudhu’ merupakan pandangan subjektivitas penilai.
Masing-masig orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas
sebuah hadits. Demikian pula, kaidah yang ditawarkan Imam An-Nasa’i dalam
menilai kesahihan sebuah hadits tampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan
oleh Ibn Al-Jauzy. Hal ini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan
merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan
menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.
Kritikan pedas Ibn Al-Jauzy terhadap keotentikan karya
monumental Imam An-Nasa’i ini tampaknya mendapat bantahan yang cukup keras pula
dari pakar hadits abad ke-9, yakni Imam Jalal Ad-Din As-Suyuthi. Menurutnya,
dalam Sunan An-Nasa’i, memang terdapat hadits yang sahih, hasan,
dan dhaif. Hanya saja, jumlahnya relatif sedikit. Imam As-Suyuthi tidak sampai
menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadits maudhu’ yang termuat
dalamSunan An-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam
Ibn Al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwa hadits yang ada di dalam
kitab Sunan An-Nasa’i semuanya berkualitas sahih, merupakan
pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah tidak didukung oleh penelitian
mendalam dan jeli, kecuali maksud pernyataan itu bahwa sebagian besar isi kitab Sunan
An-Nasa’i berkualitas sahih.
Setahun menjelang wafat, Imam An-Nasa’i pindah dari
Mesir ke Damsyik. Tampaknya, tidak konsensus ulama tentang tempat meninggalnya.
Ad-Daruqutni mengatakan bahwa Imam An-Nasa’i wafat di Mekah dan dikebumikan di
antara Shafa dan Marwah. Pendapat senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah
dari Hamzah Al-‘Uqbi Al-Mishri.
Sementara ulama lain, seperti Imam Al-Dzahabi, menolak
pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam An-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu
daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far
At-Thahawi (murid An-Nasa’i), Abu Bakar Al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir
ini, Imam An-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H/915 M dan dikebumikan di Bait
Al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih
payahnya dalam mengemban wasiat Rasulullah guna menyebarluaskan hadits
mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah.[11]
Imam
An-Nasa’i menyusun banyak karya, di antaranya As-Sunan Al-Kubra,
As-Sunan Al-Mujtaba, Kitab At-Tamyiz, Kitab Adh-Dhu’afa, Khasa’is Ali, Musnad
Ali, Musnad Malik, Manasik Al-Hajj, dan Tafsir.[12]
6.
ABU DAWUD (202 – 275 H)
Nama
lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir
bin Syihab ibn Amar bin ‘Amran Al-Azdi As-Sijistani.
Abu Dawud adalah seorang perawi hadits yang mengumpulkan
sekitar 50.000 hadits lalu memilih dan menuliskan 4.800, di antaranya dalam
kitabSunan Abu Dawud. Untuk mengumpulkan hadits, ia bepergian ke Saudi
Arabia, Irak, Khurasan, Mesir, Suriah, Nishabur, Marv, dan tempat-tempat lain,
menjadikannya sebagai salah seorang ulama yang paling luas perjalanannya.
Bapak beliau, yaitu Al-Asy’ats bin Ishaq adalah
seorang rawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid. Demikian juga
saudaranya, Muhammad bin Al-Asy’ats, termasuk seorang yang menekuni dan
menuntut hadits dan ilmunya, merupakan teman perjalanan Imam Abu Dawud dalam
menuntut hadits dari para ulama ahli hadits.
Imam Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadits
sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, ia sudah
berada di Baghdad, dan di sana, ia melayat ke kediaman Imam Muslim, sebagaimana
yang ia katakana, “Aku menyaksikan jenazahnya dan menshalatkannya.” Walaupun
telah pergi ke negeri-negeri tetangga Sajistan, seperti Khurasan, Baghlan,
Harron, Roi, dan Naisabur, setelah Imam Abu Dawud masuk kota Baghdad, ia
diminta oleh Amir Abu Ahmad Al-Muwaffaq untuk tinggal dan menetap di Bashrah,
dan ia menerimanya. Akan tetapi, hal itu tidak membuat ia berhenti dalam
mencari hadits.
Kemudian, ia mengunjungi berbagai negeri untuk memetik
langsung ilmu dari sumbernya. Ia langsung berguru selama bertahun-tahun. Di
antara guru-gurunya adalah Imam Ahmad, Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr
Adh-Dhariri, Abu Walid Ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma’in, Abu
Khaitsamah, Zuharir bin Harb, Ad-Damiri, Abu Ustman Sa’id bin Manshur, Ibnu Abi
Syaibah, dan ulama lainnya.
Murid-muridnya
cukup banyak, antara lain, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, Abu Ubaid Al-Ajury, Abu
Thayib Ahmad bin Ibrahim Al-Baghdadi (perawi sunan Abi Dawud dari Imam Abu
Dawud), Abu ‘Amr Ahmad bin Ali Al-Bashry (rawi kitab Sunan dari
Imam Abu Dawud), Zakariya bin Yahya As-Saajy, Abu Bakr Ibnu Abi Dunya, Ahmad
bin Sulaiman An-Najjar (rawi kitab Nasikh wal Mansukh dari
Imam Abu Dawud), Muhammad bin Bakrbin Daasah At-Tammar (rawi sunan dari Imam
Abu Dawud), Abu ‘Ali Muhammad bin Ahmad Al-Lu’lu’y (rawi sunan dari Imam Abu
Dawud), Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub Al-Matutsy Al-Bashry (rawi kitab Al-Qadar dari
Imam Abu Dawud).
Imam Abu Dawud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat
utamanya adalah syariat, jadi kumpulan haditsnya berfokus murni pada hadits
tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan
Al-Quran, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada
Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.
Kitab Sunan Abu Dawud diakui oleh
mayoritas dunia Muslim sebagai salah satu kitab hadits yang paling otentik.
Namun, diketahui bahwa kitab ini mengandung beberapa hadits lemah (yang
sebagian ditandai oleh Imam Abu Dawud dan sebagian tidak).
Banyak
ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Abu Dawud, di antaranya Imam Tirmidzi
dan Imam Nasa’i. Al-Khataby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah
sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim. Ibnul A’raby berkata bahwa
barang siapa yang sudah menguasai Al-Quran dan kitab Sunan Abu Dawud,
dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Al-Ghazali juga mengatakan
bahwa kitab Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi seorang mujtahid
untuk menjadi landasan hukum.
Imam
Abu Dawud adalah imam dari imam-imam ahlusunnah wal jamaah yang
hidup di Bashrah, kota berkembangnya kelompok Qadariyah dan pemikiran Khawarij,
Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyah, serta lain-lainnya. Walaupun demikian, ia tetap
dalam keistiqamahan di atas sunnah dan membantah Qadariyah dengan
kitabnya Al-Qadar. Demikian pula, bantahannya atas Khawarij dalam
kitabnya Akhbar Al-Khawarij dan membantah pemahaman yang
menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan oleh
Rasulullah. Tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya As-Sunan yang
di dalamnya terdapat bantahan-bantahannya terhadap Jahmiyah, Murji’ah, dan
Mu’tazilah.
Abu
Dawud wafat di kota Bashrah tanggal 16 Syawal 275 H dan dishalatkan jenazahnya
oleh Abbas bin Abdul Wahid Al-Haasyimy.
Selama
hidupnya, Imam Dawud menghasilkan karya-karya, di antaranyaAl-Marasil,
Masa’il Al-Imam Ahmad, Al-Nasikh wa Al-Mansukh, Risalah fi Washf Kitab
As-Sunan, Al-Zuhud, Ijabat ‘an Shalawat Al-Ajurri, As’ilah ‘an Ahmad bin
Hanbal, Tasmiyat Al-Ikhwan, Kitab Al-Qadr, Al-Ba’ts wa An-Nusyur, Al-Masa’il
Al-Lati Khalafa ‘alaiha Al-Imam Ahmad, Dala’il An-Nubawwah, Fadha’il An-Anshar,
Musnad Malik, Ad-Du’a, Ibtida’ Al-Wahy, At-Tafaruud fi As-Sunan, Akhbar
Al-Khawarij, A’lam An-Nubuwwah, dan As-Sunan.[13]
7.
AT-TIRMIDZI (209 – 279 H)
Nama lengkapnya adalah Imam Al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad
bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmidzi. Ia adalah
salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur.
Ia lahir pada 209 H di kota Tirmiz.
Kakek Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz,
kemudian pindah ke Tirmidzi dan menetap di sana. Di kota inilah, cucunya
bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecil, Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari
ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah, ia mengembara ke berbagai
negeri, yaitu Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu, ia
banyak mengunjungi ulama besar dan guru hadits untuk mendengar hadits, kemudian
menghafalkan dan mencatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di
suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya
dengan seorang guru dalam perjalanan menuju Mekah. Kisah ini akan diuraikan
lebih lanjut.
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar,
mencatat, berdiskusi, bertukar pikiran, dan mengarang, pada akhir kehidupannya
ia mendapat musibah kebutaan. Beberapa tahun lamanya, ia hidup sebagai
tunanetra. Dalam keadaan seperti inilah, akhirnya At-Tirmidzi meninggal dunia.
Ia wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892 M)
dalam usia 70 tahun.
Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama
kenamaan. Di antaranya kepada Imam Bukhari, ia mempelajari hadits dan fiqh. Ia
juga belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan, Tirmidzi belajar pula
hadits dari sebagian guru mereka.
Guru lainnya adalah Qutaibah bin Saudi Arabia’id,
Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin
Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin Al-Musanna, dan
lain-lain.
Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan
diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya adalah Makhul bin Al-fadl,
Muhammad bin Mahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai’bd bin Muhammad
An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi,
Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ darinya,
dan lain-lain.
Abu ‘Isa At-Tirmidzi diakui keahliannya oleh para
ulama dalam hadits, kesalehan, dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai
seorang yang dapat dipercaya, amanah, dan sangat teliti. Salah satu bukti
kekuatan dan kecepatan hafalannya adalah kisah berikut yang dikemukakan oleh
Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib At-Tahzib-nya, dari Ahmad bin
‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata, “Saya mendengar Abu ‘Isa At-Tarmidzi
berkata, ‘Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekah, dan ketika itu aku
telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru.
Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu, aku bertanya-tanya mengenai dia. Mereka
menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu maka aku menemuinya. Aku
mengira bahwa ‘dua jilid kitab’ itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah
dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika aku
telah bertemu dengan dia, aku memohon kepadanya untuk mendengar hadits dan ia
mengabulkan permohonanku. Kemudian, ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di
sela-sela pembacaan itu, ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang
kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan apapun. Melihat kenyataan itu, ia
berkata, ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu, aku bercerita dan menjelaskan
kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’
suruhnya. Lalu, aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya
lagi, ‘Apakah engkau telah hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak’ jawabku.
Kemudian, aku meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Kemudian, ia
membacakan 40 buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau gharib.
Lalu ia berkata, ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi’, Lalu aku membacakannya
dari pertama sampai selesai, dan ia berkomentar, ‘Aku belum pernah melihat
orang seperti engkau’.”
Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, serta
mengakui kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad bin Hibban,
kritikus hadits, menggolongkan Tirmidzi ke dalam kelompok ‘Tsiqat’ atau
orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya. Ia berkata, “Tirmidzi
adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal
hadits, dan ber-muzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”
Abu
Ya’la Al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan
bahwa Muhammad bin ‘Isa At-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits
yang baik, yang telah diakui para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan
kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu
Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya,
seorang ulama dan imam yang menjadi panutan dan berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us
Sahihmerupakan bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak
bacaannya, dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.
Imam
Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang megetahui
kelemahan-kelemahan dan rawi-rawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang
memiliki wawasan dan pandangan luas. Barang siapa yang mempelajari kitab Jami’-nya,
ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap
berbagai mahzab fiqh. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan
dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk
permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh adalah penjelasannya terhadap
sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang
sudah mampu, sebagai berikut, “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan
kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi Az-Zunad, dari Al-A’rai
dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. bersabda, ‘Penangguhan membayar piutang yang
dilakukan oleh si berutang yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang
di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar,
hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.”
Imam
Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut, “Sebagian ahli ilmu berkata,
‘Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar
dan ia menerima pemindahan itu, bebaslah orang yang memindahkan (muhil)
itu, dan orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan
menuntut kepada ‘muhil. Dictum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad,
dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata, ‘Apabila harta seseorang (muhtal)
menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, baginya dibolehkan
menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).’ Mereka memakai alasan dengan
perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan, ‘Tidak ada kerugian atas harta
benda seorang Muslim.’ Menurut Ishaq, perkataan ‘Tidak ada kerugian atas harta
benda seorang Muslim’ ini adalah, ‘Apabila seseorang dipindahkan piutangnya
kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang itu tidak mampu,
tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya)
itu’.”
Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita,
betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dlaam memahami nash-nash hadits,
serta betapa luas dan orisinil pandangannya itu.[14]
Imam Tirmidzi banyak menuis kitab, di antaranya Al-Jami’
Al-Mukhtasar min As-Sunan ‘an Rasul Allah, terkenal dengan Sunan
At-Tirmidzi, Tawarikh, Al-‘Ilal, At-Tarikh, Al-‘Ilal Al-Kabir, Asy-Syama’il An-Nabawiyyah, Az-Zuhd, Asma’ Ash-Shahabah, Al-Asma’
wal-Kunya, Al-Atsar Al-Mauqufah. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar,
dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.[15]
8.
IBN MAJAH (207 – 273 H)
Ibnu Majah adalah nama nenek moyang yang berasal dari
kota Qazwin, salah satu kota di Iran. Nama lengkap imam hadits yang terkenal
dengan sebutan neneknya ini adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid Ar-Raba’i
Al-Qazwini Ibnu Majah. Ia dilahirkan di Qazwin pada tahun 207 H (824 M). Ia
wafat hari selasa, bulan Ramadhan, tahun 273 H (887 M).
Sebagaimana halnya para Muhaditsin yang dalam mencari
hadits-hadits memerlukan perantauan ilmiah, ia pun berkeliling di beberapa
negeri untuk menemui dan berguru hadits kepada para ulama hadits.
Dari tempat perantauannya itu, ia bertemu dengan
murid-murid Imam Malik, dan Al-Laits, dan dari merekalah, ia banyak memperoleh
hadits. Hadits-haditsnya banyak diriwayatkan oleh orang banyak.
Ibnu Majah menyusun kitab Sunan yang
kemudian terkenal dengan nama Sunan Ibnu Majah. Sunan ini merupakan
salah satu sunan yang keempat. Dalam Sunan ini banyak terdapat hadits dhaif,
bahkan tidak sedikit hadits yang munkar.
Al-Hafidh Al-Muzy berpendapat bahwa
hadits-hadits gharib yang terdapat dalam Sunan ini adalah dhaif.
Karena itulah, para ulama mutaqaddimin memandang bahwa kitab Muwaththa Imam
Malik menduduki pokok kelima, bukan Sunan Ibnu Majah. Selama hidupnya, Ibnu Majah banyak menghasilkan karya,
di antaranyaTafsir Al-Quran Al-Karim, At-Tarikh, dan Sunan
Ibnu Majah.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Azami, Muhammad Mustofa, 1992.
Metodologi Kririk Hadits. Terj. A. Yamin. Jakarta: Pustaka
Hidayah.
Soetari, Endang, 2005. Ilmu
Hadis : Kajian Diriwayah dan Diriyah. Bandung: Mimbar Pustaka.
Solahudin, Muhammad; Agus Suyadi,
2009. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Effendi, Ade Irwan dkk., 2001. Biografi Sahabat Perowi
Hadits. UIN Jakarta
[1] Endang Soetari. Ilmu Hadits: Kajian Riwayah
dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka. 2005. hlm. 281.
[2] M.M. Azami. Studies in Hadith Methodology and
Literature. Terj. Meth Kieraha. Jakarta: Penerbit Lentera. 2003. hlm.
143-144.
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Imam_Hanbal
[4] Soetari. hlm. 301.
[5] Azami. Op.cit. hlm. 149-150.
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Bukhari
[7] Azami. Op.cit. hlm. 155-156.
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Muslim
[9] M.M. Azami. hlm. 165-166.
[10] Soetari. Op.cit. hlm. 313.
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Nasa’i
[12] Azami. op.cit. hlm. 168.
[13] Azami. op.cit. hlm. 171-172.
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Tirmidzi
[15] Azami. op.cit. hlm. 175-176.
[16] Soetari. op.cit. hlm. 316.
No comments:
Post a Comment